Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 April 2017

Perbedaan dan Hubungan Perubahan Sosial dan Budaya dan Karakteristik

Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut hal yang kompleks. Oleh karena itu Alvin L. Bertrand menyatakan bahwa perubahan sosial pada dasarnya tidak dapat diterangkan oleh dan berpegang teguh pada faktor yang tunggal. Menurut Robin Williams, bahwa pendapat dari faham diterminisme monofaktor kini sudah ketinggalan zaman, dan ilmu sosiologi modern tidak akan menggunakai interpretasi-interpretasi sepihak yang mengatakan bahwa perubahan itu hanya disebabkap oleh satu faktor saja.
Jadi jelaslah, bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut disebabkah oleh banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi. Karenanya perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu dikatakan berkaitan dengan hal yang kompleks.
Perubahan sosial dan budaya memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali. Suatu perubahan sosial pastilah akan memberikan pengaruh terjadinya perubahan budaya. Perubahan kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi filsafat, dan lain sebagainya. Bagian dan budaya tersebut tidak dapat lepas dan kehidupan sosial manusia dalam masyarakat. Tidak mudah menentukan garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan budaya. 
Tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan. Sebaliknya, tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial dan budaya memiliki satu aspek yang sama, yaitu kedua-keduanya bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan tentang cara suatu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Meskipun perubahan sosial dan budaya memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat, namun keduanya juga memiliki perbedaan. Perbedaan antara perubahan sosial dan budaya dapat dilihat dan arahnya. Perubahan sosial merupakan perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial, sedangkan perubahan budaya merupakan perubahan dalam segi budaya masyarakat. Perubahan sosial terjadi dalam segi distribusi kelompok umur, jenjang pendidikan, dan tingkat kelahiran penduduk. Perubahan budaya meliputi penemuan dan penyebaran masyarakat, perubahan konsep nilai susila dan moralitas, bentuk seni baru dan kesetaraan gender.
Terkadang perubahan sosial dan budaya mengalami tumpang tindih. Sebagai contoh, saat ini masyarakat menginginkan adanya kesamaan gender berhubungan dengan perubahan seperangkat norma budaya dan fungsi peran kaum laki-laki dan perempuan secara sosial. Untuk mengatasi ketumpang tindihan tersebut maka sering kita gunakan istilah perubahan sosial budaya untuk mencakup kedua perubahan tersebut.

Dengan demikian, suatu perubahan dikatakan sebagai Perubahan Sosial Budaya apabila memiliki karakteristik sebagai berikut.
  1. Tidak ada masyarakat yang perkembangannya berhenti karena setiap masyarakat mengalami perubahan secara cepat ataupun lambat.
  2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan akan diikuti perubahan pada lembaga sosial yang ada.
  3. Perubahan yang berlangsung cepat biasanya akan mengakibatkan kekacauan sementara karena orang akan berusaha untuk menyesuaikan din dengan perubahan yang terjadi.
  4. Perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau spiritual saja karena keduanya saling berkaitan.
Itulah, Sekilas Perbedaan dan Hubungan Perubahan Sosial dan Budaya dan Karateristik, Semoga Bermanfaat.


Sumber / IPS, Hal : 103-104, Penulis : Sutarto, Penerbit : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Program Penanggulangan Kemiskinan

Beberapa program yang tengah digalakkan oleh pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan antara lain dengan memfokuskan arah pembangunan pada tahun 2008 pada pengentasan kemiskinan. Fokus program tersebut meliputi 5 hal antara lain pertama menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok; kedua mendorong pertumbuhan yang berpihak pada rakyat miskin; ketiga menyempurnakan dan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat; keempat meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar; dan kelima membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.


Dari 5 fokus program pemerintah tersebut, diharapkan jumlah rakyat miskin yang ada dapat tertanggulangi sedikit demi sedikit. Beberapa langkah teknis yang digalakkan pemerintah terkait 5 program tersebut antara lain:
a. Menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok. Fokus program ini bertujuan menjamin daya beli masyarakat miskin/keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok terutama beras dan kebutuhan pokok utama selain beras. Program yang berkaitan dengan fokus ini seperti :

  • Penyediaan cadangan beras pemerintah 1 juta ton
  • Stabilisasi/kepastian harga komoditas primer

b. Mendorong pertumbuhan yang berpihak pada rakyat miskin. Fokus program ini bertujuan mendorong terciptanya dan terfasilitasinya kesempatan berusaha yang lebih luas dan berkualitas bagi masyarakat/keluarga miskin. Beberapa program yang berkenaan dengan fokus ini antara lain:

  • Penyediaan dana bergulir untuk kegiatan produktif skala usaha mikro dengan pola bagi hasil/syariah dan konvensional.
  • Bimbingan teknis/pendampingan dan pelatihan pengelola Lembaga Keuangan Mikro (LKM)/Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
  • Pelatihan budaya, motivasi usaha dan teknis manajeman usaha mikro
  • Pembinaan sentra-sentra produksi di daerah terisolir dan tertinggal
  • Fasilitasi sarana dan prasarana usaha mikro
  • Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir
  • Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil
  • Peningkatan akses informasi dan pelayanan pendampingan pemberdayaan dan ketahanan keluarga
  • Percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah
  • Peningkatan koordinasi penanggulangan kemiskinan berbasis kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin.

c. Menyempurnakan dan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat. Program ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin. Program yang berkaitan dengan fokus ketiga ini antara lain :

  • Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di daerah perdesaan dan perkotaan
  • Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah
  • Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus
  • Penyempurnaan dan pemantapan program pembangunan berbasis masyarakat.

d. Meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar. Fokus program ini bertujuan untuk meningkatkan akses penduduk miskin memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan prasarana dasar. Beberapa program yang berkaitan dengan fokus ini antara lain :

  • Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin pada jenjang pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs);
  • Beasiswa siswa miskin jenjang Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/SMK/MA);
  • Beasiswa untuk mahasiswa miskin dan beasiswa berprestasi;
  • Pelayanan kesehatan rujukan bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di kelas III rumah sakit;

e. Membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Fokus ini bertujuan melindungi penduduk miskin dari kemungkinan ketidakmampuan menghadapi guncangan sosial dan ekonomi. Program teknis yang di buat oleh pemerintah seperti :

  • Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan anak (PUA)
  • Pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, komunitas adat terpencil, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya.
  • Bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban bencana alam, dan korban bencana sosial.
  • Penyediaan bantuan tunai bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memenuhi persyaratan (pemeriksaan kehamilan ibu, imunisasi dan pemeriksaan rutin BALITA, menjamin keberadaan anak usia sekolah di SD/MI dan SMP/MTs; dan penyempurnaan pelaksanaan pemberian bantuan sosial kepada keluarga miskin/RTSM) melalui perluasan Program Keluarga Harapan (PKH).
  • Pendataan pelaksanaan PKH (bantuan tunai bagi RTSM yang memenuhi persyaratan).

Penyebab-penyebab Kemiskinan

Kemiskinan tidak disebabkan oleh faktor tunggal, dan juga tidak terjadi secara linier. Sebaliknya, kemiskinan bersifat majemuk dan disebabkan oleh multi faktor yang saling terkait satu dengan yang lain. Secara prinsip ada tiga faktor penyebab kemiskinan, yaitu faktor struktural, faktor kultural, dan sumberdaya alam yang terbatas (Mubiyarto, 1993; Sumodiningrat 1998; Rocman, 2010; Handoyo, 2010).

Faktor struktural penyebab kemiskinan berupa:
  1. (Struktur sosial masyarakat yang menyebabkan sekelompok orang berada pada lapisan miskin. Keluarga miskin dengan kepemilikan lahan yang sempit, atau bahkan tidak punya sama sekali. Anak-anak yang lahir dari keluarga seperti ini, sejak awal sudah mewarisi kemiskinan tersebut. Mereka sulit mendapatkan akses untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan untuk memperbaiki kualitas diri dan hidupnya sehingga jatuh dalam situasi kemiskinan yang tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.
  2. Praktek ekonomi masih jauh dari nilai-nilai moral Pancasila yang bertumpu pada kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan. Dalam praktek kehidupan lebih mengarah pada praktek ekonomi pasar bebas yang mengagungkan kompetisi dan individu dari pada kebersamaan, kekeluargaan, dan masih jauh dari nilai keadilan.
  3. Pasal 33 UUD 1945 masih belum efektif untuk diterjemahkan dalam peraturan organik yang lebih operasional untuk mengatur praktek kegiatan ekonomi. Undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai turunan dari pasal 33 tersebut masih dibutuhkan. Sejumlah Undang-Undang Organik dan peraturan telah dibuat oleh lembaga tinggi negara yang berkompeten. Namun, bukan berarti permasalahannya selesai dengan Undang-Undang Organik tersebut. Kenyataanya masih muncul berbagai masalah yang berdampak pada potensi peningkatan jumlah penduduk miskin. Pengelolaan sumber daya air, tambang dan gas yang kurang baik dapat menimbulkan jumlah penduduk miskin. Sebagai contoh sumber daya air yang tidak terkelola dengan baik menyebabkan air sungai tercemar. Pada hal selama ini sungai menjadi sumber air keluarga, terutama bagi rumah tangga miskin. Tidak berfungsinya air sungai sebagai sumber air bersih menyebabkan rumah tangga miskin membeli air bersih, setidahnya untuk minum, atau terpaksa mengkonsumsi air yang tercemar tersebut. Sebagai akibatnya mereka mengeluarkan biaya hidup untuk membeli air. Hal itu akan menambah jumlah kemiskinan penduduk. Sumber daya alam yang melimpah tidak otomatis dapat mensejahterakan penduduk sekitar. Kasus tambang di Papua menggambarkan realitas itu. Tambang emas, tembaga yang sangat besar itu belum dapat mengentaskan kemiskinan penduduk sekitar dan membebaskan dari keterbelakangan. Hal itu dapat terjadi karena: (1) nilai kontrak yang terlalu murah, (2) distribusi hasil yang belum berpihak pada kaum miskin sekitar, (3) pengelolaan yang salah.
  4. Paradigma ekonomi masih bertumpu pada ekonomi neoliberal yang kapitalistik. Dalam Peradaban global diakui bahwa pengaruh ekonomi kapitalistik demikian besar. Bahkan peradapan kehidupan umat manusia pada abad XXI ini telah dimenangkan oleh peradaban kapitalistik. Karena itu, pemikiran-pemikiran neo liberalisme, di sadari atau tidak banyak mempengaruhi kebijakakan ekonomi di Indonesia. Praktek ekonomi yang bertumpu pada modal dan pasar bebas menjadi dasar dalam aktivitas ekonomi. Sebagai contoh terbaru adalah kebijakan yang longgar terhadap keberadaan pasar modern supermaket/minimarket. Pemerintah daerah belum memiliki aturan yang jelas tentang masalah ini. Sementara dilapangan telah bergulir pembangunan supermaket tersebut demikian cepatnya. Sebagai akibatnya banyak toko-toko di pasar tradisional atau di luarnya yang mengalami penurunan pembeli, karena tidak dapat bersaing. Aturan yang telah ditetapkan jarak 500m dari pasar tradisional, ternyata tidak dapat berjalan efektif.
  5. Konsistensi terhadap nilai-nilai moral Pancasila yang masih kurang. Pancasila merupakan seperangkat nilai-nilai luhur dan mulia yang menggambarkan hubungan mausia dengan Tuhan, Manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Jabaran nilai-nilai luhur tersebut tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila mengajarkan praktek ekonomi yang demokratis, berkeadilan, efisien, dan berkelanjutan, dan menempatkan posisi negara sebagai entitas yang penting sebagai regulatator dan eksekutor. Namun, kenyataanya praktek ekonomi lebih berpihak kepada ekonomi modal besar dari pada rakyat. Nasib ekonomi kerakyatan menjadi kurang jelas, dan kurang berkelnjutan.
Faktor kultural penyebab kemiskinan berupa:
  1. Penyakit individu (patologis) yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
  2. penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
  3. penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
  4. penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
Faktor sumberdaya alam yang terbatas berupa:
  1. Tanah yang semakin tandus dan terkontaminasi bahan kimia.
  2. Curah hujan yang rendah hingga kering.
  3. Wilayah tambang yang sudah tinggal sisa-sisa.
  4. Kepemilikan lahan yang semakin menyempit dan hanya bekerja sebagai buruh tani.

Keterkaitan Kemiskinan Struktural dan Kultural

Dalam konteks Indonesia, jika ditinjau dari masalah kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural. Terlebih status Indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang berdampak pada kemerosotan kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar, yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama memfokuskan pada pembangunan aspek politik. Proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus berlangsung secara cepat. Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas sehingga masyarakat tidak beranjak dari situasi kemiskinannya, karena secara struktural tidak terprioritaskan.
Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan. Melalui cara pinjaman dana kepada lembaga donor di luar negeri, seperti IGGI dilakukan secara ekstensif. Namun, dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya. Kondisi itu pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.
Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural. Masyarakat menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup. Hal itu sering diperkuat dengan pendekatan keagamaan yang meminta agar orang tetap selalu bersabar dan bersyukur menerima ‘takdir’ yang dialaminya.
Jika dilihat dari argumentasi diatas, mayoritas kemiskinan yang terjadi merupakan dominasi kemiskinan struktural. Tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.

Jenis Kemiskinan dan Penyebabnya

Banyak perspektif yang yang menjelaskan  bentuk-bentuk kemiskinan. Menurut Jamasy (2004) terdapat empat bentuk kemiskinan yang mana setiap bentuk memiliki arti tersendiri. Keempat bentuk tersebut adalah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang melihat kemiskinan dari segi pendapatan, sementara kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan dari segi penyebabnya.
1. Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimun, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas agar bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan jenis ini mengacu pada satu  standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat /negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari penduduk yang makan dibawah jumlah yang cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan  pendapatan dibawah USD $1/hari, dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari. Dengan  batasan ini maka diperkiraan pada 2001 terdapat 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari, dan 2,7 miliar  orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari.
2. Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di negara bekembang, ada bukti tentang  kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota.
3. Kemiskinan struktural ialah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan struktural muncul karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural adalah pemerintah. Sebab, pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, Kalau pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan, sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’. Artinya jika pada awalanya sebagai buruh, nelayan, pemulung, maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an para intelektual mengangkat  isu kemiskinan struktural ini. Kemiskinan ini timbul, karena ada hubungan  sosial ekonomi yang membuat kelompok orang tereksklusi  dari posisi ekonomi yang lebih baik.  Penyebab eksklusi adalah  ketergantungan ekonomi pada negara industri maju, struktur perekonomian  nasional jatuh pada segelintir orang  (kolusi penguasa dan pengusaha) serta politik dan hubungan sosial  yang tidak demokratis.
Kemiskinan struktural hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau  bukan karena karena nasib. Kemiskinan jenis ini muncul dari suatu usaha pemiskinan. Suatu usaha untuk menciptakan jurang semakin lebar saja antara yang kaya dengan yang miskin. Kemiskinan struktural  adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang, yang timbul dari tiadanya suatu hubungan yang simetris dan sebangun yang menempatkan manusia sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.
Namun dalam beberapa dasawarsa belakangan ini terjadi kecenderungan fenomena yang berbalik.  Beberapa negara berkembang yang  penduduknya mengalami kemiskinan struktural, ternyata mampu bangkit dan berkembang untuk merebut pasar global (Rohman, 2010). Pertanyaanya, apakah hal itu pertanda  kemiskinan karena faktor struktural tidak ada lagi, dan yang ada faktor kultural serta kurangnya akses pada kebutuhan dasar? Hal ini secara empiris perlu mendapat telaah yang lebih mendalam .
4. Kemiskinan kultural mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya itu, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Sedangkan, kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya miskin merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama. Keadaan seperti itu membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir. Dalam konteks keagamaan disebut dengan paham jabariah. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2008-Maret 2009

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan. Sebab, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret 2008-Maret 2009, Garis Kemiskinan naik sebesar 9,65 persen, yaitu dari Rp182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008 menjadi Rp 200.262,- per kapita per bulan pada Maret 2009. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Bulan Maret 2008, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 74,07 persen, tetapi pada Bulan Maret 2009, peranannya hanya turun sedikit menjadi 73,57 persen.
Komoditi yang berpengaruh pada kemiskinan berupa komoditi makanan dan bukan makanan. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, mie instan, tahu dan tempe. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah.
Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada Bulan Maret 2008, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,06 persen di perdesaan dan 38,97 persen di perkotaan. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (3,10 persen di perkotaan; 4,18 persen di perdesaan), telur (3,38 persen di perkotaan; 2,43 persen di perdesaan), mie instan (3,39 persen di perkotaan; 2,82 persen di perdesaan), tempe (2,56 persen di perkotaan; 2,14 persen di perdesaan), dan tahu (2,27 persen di perkotaan; 1,65 persen di perdesaan).
Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 5,28 persen di perdesaan dan 7,38 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 3,07 persen, 2,72 persen dan 2,65 persen, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
Pola yang serupa juga terlihat pada Bulan Maret 2009. Pengeluaran untuk beras masih memberi sumbangan terbesar terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 25,06 persen di perkotaan dan 34,67 persen di perdesaan. Beberapa barang-barang kebutuhan pokok lainnya masih berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan, seperti gula pasir (2,83 persen di perkotaan; 3,72 di perdesaan), telur (3,61 persen di perkotaan; 2,68 di perdesaan), mie instan (3,21 persen di perkotaan; 2,70 di perdesaan), tempe (2,47 di perkotaan; 2,09 di perdesaan), dan tahu (2,24 persen di perkotaan; 1,60 persen di perdesaan).
Sumbangan komoditi bukan makanan di perdesaan lebih kecil dibanding di perkotaan. Sumbangan komoditi bukan makanan terhadap Garis Kemiskinan terbesar adalah pengeluaran untuk rumah, yaitu 7,58 persen di perkotaan dan 5,73 persen di perdesaan. Pengeluaran listrik di perkotaan memberi sumbangan lebih besar kepada Garis Kemiskinan yang mencapai 3,08 persen, sedangkan perdesaan hanya 1,81 persen. Sumbangan komoditi lain terhadap Garis Kemiskinan adalah angkutan 2,85 persen di perkotaan dan 1,34 persen di perdesaan, dan minyak tanah menyumbang sebesar 1,73 persen di perkotaan dan 0,70 persen di perdesaan.

Kemiskinan dan Ukurannya

Kemiskinan adalah kondisi dimana sesorang atau kelompok orang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya secara bermartabat. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the whole society (Sumodiningrat, 1999). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kemiskin-an terkait dengan batas absolut standar hidup sebagian masyarakat miskin dan menyangkut standar hidup relatif dari masyarakat.
Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Ketidakmampuan tersebut ditunjukkan  oleh kondisinya yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. Garis kemiskinan merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan, setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.
Kemiskinan merupakan konsep dan masalah yang multiperspektif. Dalam perspektif ekonomi, kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Dalam konteks ini, sumber daya tidak hanya berupa aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Dengan indikator materi, seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 2.100 kalori/orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.
Dalam perspektif kesejahteraan sosial, kemiskinan mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok untuk mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Keterbatasan individu karena adanya faktor penghambat berupa faktor internal yang bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan, faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, oleh karena terlalu lama dalam kondisi miskin baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino, berupa patologi atau masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contoh munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan juga dapat dipandang dalam perspektif sebab dan akibat. Sebagai sebab, kemiskinan merupakan akar dari sebagian besar tindak kriminalitas. Fenomena pencurian, perampokan atau pembunuhan, dan kasus-kasus bunuh diri atau kelaparan disebabkan oleh kemiskinan. Sebagai sebuah akibat, kemiskinan merupakan suatu produk praktek ketidakadilan. Ketidakadilan pemimpin, hukum atau sistem, bahkan ketiganya. Pemimpin yang tidak adil akan menempatkan orang miskin sebagai ’sampah’ yang tidak perlu dipikirkan. Sehingga, pemimpin seperti ini hanya akan mementingkan kepentingan dirinya dan orang-orang disekitarnya, tidak peduli jutaan orang merintih dalam kemiskinannya.
Ketidakadilan hukum akan menempatkan orang miskin dalam posisi lemah. Apalagi jika hukum bisa dijualbelikan, maka keberadaan orang miskin akan semakin sulit mendapatkan akses struktural yang mengeksklusi dirinya. Ketidakadilan sistem akan membuka peluang orang miskin tertindas, karena dalam sistem yang tidak adil, terjadi hukum rimba; yang kuat dan beruanglah yang berkuasa.
Dengan demikian, secara umum kemiskinan diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang serba terbatas, baik dalam eksesibilitas pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat terbatas (Sulistiyani, 2004).